Jumat, 24 Juni 2011

PENGAMATAN TERHADAP FENOMENA KEBAHASAAN ”DIALEK –LEH dan –NEM” (SEBUAH KAJIAN SOSIOLINGUISTIK DI KECAMATAN LASEM KABUPATEN REMBANG )


                                         
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sosiolinguistik merupakan sebuah disiplin linguistik yang mengkaji bahasa dalam masyarakat. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (periksa Hudson 1996: 2). Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Argumentasi ini telah dikembangkan oleh Labov (1972) dan Halliday (1973). Alasannya adalah bahwa ujaran mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial.
Di dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu mengadakan interaksi dengan makhluk hidup lain, baik berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan hewan, tumbuhan dan bahkan dengan benda-benda mati. Dalam berinteraksi dengan sesamanya, manusia menggunakan bahasa sebagai salah satu alat komunikasi. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi (Lubis, 1993:3) atau alat interaksi (Chaer, 1995:22).
Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan.   Satu aspek yang juga  mulai disadari adalah hakikat pemakaian bahasa sebagai suatu gejala yang senantiasa berubah. Suatu pemakaian bahasa itu bukanlah cara pertuturan yang digunakan oleh semua orang, bagi semua situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya pemakaian bahasa itu berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, baik faktor sosial, budaya, psikologis, maupun pragmatis. Hubungan bahasa dan faktor-faktor tersebut dikaji secara mendalam dalam disiplin sosiolinguistik.Fenomena pemilihan bahasa (language choice) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji. Di dalam penelitian ini, peneliti menganglat tentang fenomena kabahasaan berupa dialek –leh dan –nem  yang terjadi dimasyarakat Kabupaten .
Kabupaten  merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, yang berada di daerah Pantura bagian Timur  sepanjang pantai utara Laut Jawa memanjang ke timur dengan Kota  sebagai Ibu Kota pusat pemerintahan. Secara geografis terbagi atas  14 Kecamatan yang terbagi lagi dalam 13 Kelurahan, 270 Desa, 1.209 Dusun, 1.497 RW dan 4.289 RT yang seluruhnya merupakan desa Swasembada. Karena terdapatnya banyak desa dan kecamatan tersebut merupakan salah satu faktor penyebab adanya variasi bahasa dan munculnya dialek-dialek tertentu seperti dialek –leh dan –nem . Salah satu tempat di Kabupaten  yang menjadi objek penelitian ini adalah Pasar Lasem yang terletak di jalan pantura. Banyaknya kecamatn dan desa di Kabupaten  menyebabkan terdapat banyak variasi bahasa. Yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penggunaan dialeg po’o, ho, pak yang digunakan oleh mayoritas penduduk Kabupaten Rembang.
Dialek tersebut sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam penelitian ini salah satu tempat yang dijadikan objek adalah Pasar Lasem. Karena Pasar Lasem merupakan pusat perdagangan di Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang sehingga kemungkinan dialek po’o, ho, pak akan muncul secara kompleks di tempat tersebut. Baik pengunjung ataupun pedagang berasal dari berbagai kecamatan, sehingga lebih memudahkan penelitian ini.
B.     Rumusan Masalah
1.)    Apakah manfaat adanya dialek –leh dan –nem  pada peristiwa tutur yang terjadi pada mayoritas penduduk di Kabupaten Rembang?
2.)    Bagaimana pemahamanan antara penutur dan mitra tutur dengan digunakannya dialek –leh dan –nem  pada suatu peristiwa tutur di Kabupaten Rembang?
C.    Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui manfaat digunakannya dialek –leh dan –nem  pada suatu peristiwa tutur di Kabupaten Rembang. Selain itu juga bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat di Kabupaten  Rembang dengan adanya dialek –leh dan -nem dalam bahasa komunikasi sehari-hari.
BAB II
LANDASAN TEORETIS

                Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat (Wardhaugh, 1984: 4; Holmes, 1993; 1; Hudson, 1996: 2), yang  mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat.
            Ada asumsi penting di dalam sosiolinguistik yang menya­takan bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Asumsi ini mengandung pengertian bahwa sosio-linguistik memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-tidaknya dalam hal penggunaan bahasa atau dalam pilihan bahasa mereka. Adanya fenomena pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomihardjo, 1981, Fasold, 1984, Hudson, 1996, Wijana (1997: 5).
            Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik. Yang meliputi :

1) setting and scene (latar dan suasana tutur)
(2) participants (peserta tutur)
(3) ends (tujuan tutur),
(4) act sequence (topik/urutan tutur)
(5) keys (nada tutur)
(6) instrumentalities (sarana tutur)
(7) norms (norma-norma tutur), dan
 (8) genre (jenis tutur)
Latar tutur meliputi tempat tutur dan suasana tutur. Tempat tutur  mengacu pada keadaan fisik, sedangkan suasana tutur mengacu pada suasana psikologis (baik bersifat resmi maupun tidak rsemi) tindak tutur dilaksanakan.
 Peserta tutur mengacu pada penutur, mitra tutur, dan orang yang dituturkan. Pemilihan bahasa antar-peserta tutur ditentukan oleh perbedaan dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi pertama meliputi perbedaan umur,   status sosial eknomi, dan kedudukan dalam masyarakat. Perbedaan dimensi kedua antara lain meliputi perbedaan tingkat keakraban antarpeserta tutur.
Tujuan tutur merupakan hasil yang diharapkan atau yang tidak diharapkan dari tujuan tindak tutur, baik ditujukan kepada individu maupun masyarakat sebagai sasarnnya. Suatu tuturan mungkin bertujuan menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku (konatif).
Topik tuturan mengacu pada apa yang dibicarakan (massage content) dan cara penyampaiannya (massage form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dapat muncul secara berurutan. Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa.
Nada tutur diwujudkan, baik berupa tingkah laku verbal maupun nonverbal. Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat menunjukkan keseriusan, kehumoran, atau kesantaian tindak tutur. Nada tutur non-verbal dapat berujud gerak anggota badan, perubahan air muka, dan sorot mata. 
Sarana tutur mengacu pada saluran tutur dan bentuk tutur. Sarana tutur dapat berupa sarana lisan, tulis, dan isyarat. Bentuk tutur dapat berupa bahasa sebagai sistem mandiri, variasi bahasa seperti dialek, ragam, dan register.
Norma tutur berhubungan dengan norma interaksi dan norma interpretasi/ Yang dimaksud norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh–tidaknya sesuatu dilaksanakan oleh peserta tutur pada waktu tuturan berlangsung, sedangkan  norma interpretasi merupakan norma yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tutur tertentu.
Adapun jenis tutur meliputi kategori kebahasaan seperti prosa, puisi, dongeng, legenda, doa, kuliah, iklan dan sebagainya.
Kedelapan variabel komponen tutur Hymes tidaklah sepenuhnya digunakan dalam setiap pemerian fenomena pemakaian bahasa dalam dimensi sosial budaya, tetapi tergantung pada fokus variabel yang diperhatikan. Dalam kenyataannya, kedelapan variabel komponen tersebut tidak selalu hadir secara bersamaan dalam sebuah peristiwa tutur tertentu. Untuk itu pembatasan variabel komponen tutur yang sesuai dengan fokus pemerian pemilihan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam penelitian ini sangatlah diperlukan.
Pandangan Hymes di atas dijadikan kerangka konsep pelaksanaan penelitian ini. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang menentukan pemilihan bahasa. Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu
(1) latar (waktu dan tempat) dan situasi
(2) partisipan dalam interaksi
(3) topik percakapan, dan
 (4) fungsi interaksi
Aspek yang perlu diperhatikan dari faktor partisipan adalah
(a) keahlian berbahasa
(b) pilihan bahasa yang dianggap lebih baik
(c) status sosial ekonomi
(d) usia
(e) jenis kelamim
(f) pendidikan
(g) pekerjaan
(h) latar belakang etnis
(i) relasi kekeluargaan
(j) keintiman
(k) sikap kepada bahasa-bahasa, dan
(l) kekuatan luar yang menekan

Faktor situasi mencakup:
(a) lokasi atau latar
(b) kehadiran pembicara monolingual
(c) tingkat formalitas dan
(d) tingkat keintiman.
Faktor isi wacana berkaitan dengan
(a) topik percakapan
(b) tipe kosakata.
Faktor fungsi interaksi mencakup:
(a) strategi menaikan status
(b) jarak sosial
(c) melarang masuk atau mengeluargak sesoorang dari pembicaraan, dan
 (d) memerintah atau meminta
Dari jabaran di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya atau jarang terdapat faktor tunggal yang mempengaruhi pemilihan bahasa seorang dwibahasawan/multibahasawan. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakaah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Umumnya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lainnya. Di Obewart, Gal (dalam Grosjean, 1982: 143) menemukan bukti bahwa karakteristik pembicara dan pendengar menduduki faktor penentu terpenting. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi interaksi. Rubin meneliti pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa lokasi interaksi, yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum, sangat menentukan pilihan bahasa oleh pembicara bilingual. Di desa, pembicara akan memilih bahasa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memimilih bahasa Spanyol (Grosjean 1982: 43).


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang terdiri atas  14 Kecamatan yang terbagi lagi dalam 13 Kelurahan, 270 Desa, 1.209 Dusun, 1.497 RW dan 4.289 RT yang seluruhnya merupakan desa Swasembada. Fokus kajian diarahkan pada Pasar Lasem yang merupakan pusat perdagangan di Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Pengambilan tempat ini sebagai objek kajian dengan mempertimbangkan adanya asumsi masyarakat Lasem sendiri bahwa Pasar Lasem adalah pusat perdagangannya orang-orang sekecamatan Lasem. Sehingga baik penjual atau pembeli bersal dari berbagai daerah (namun masih dalam lingkup kecamatan Lasem). Di Pasar Lasem ini kemungkinan akan mampu memunculkan berbagai macam variasi bahasa an juga dialek khas Rembang (po’o, ho, pak) khususnya.

B.     Data dan Sumber Data
Data dan sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kabupaten Rembang, khususnya masyarakat yang tergabung dalam komunitas Pasar Lasem. Data penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data sekunder adalah data yang berupa informasi atau keterangan tentang latar sosial, budaya, dan situasional yang menjadi faktor penentu terjadinya peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data pertama dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara. Metode pertama dilakukan dengan teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135). Metode kedua dilakukan melalui wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (indept interview) . Kedua metode itu digunakan alat bantu catat dengan menggunakan catatan tangan hasil pengamatan.





1.      Data Primer Hasil Pengamatan di Pasar Lasem

Ø  Percakapan 1
KONTEKS : PENJUAL DAN PEMBELI SEDANG TAWAR MENAWAR BARANG DI PASAR LASEM
PEMBELI       : “ PAK KELAPANE PINTEN?”
PENJUAL       : “ SETUNGGALE 2000 BU
PEMBELI       : “ LARANG TEMEN PAK? SEWUNAN LAKWISLEH”.
PENJUAL      : “DERENG PARENG BU. MPUNLEH BU, 2000 LAH, TAK  JAMIN APIK”.
PEMBELI       : “ ALAH PAK, DI DUNKE MENEHLEH REGANE”


Ø  Percakapan 2
KONTEKS : PENJUAL DAN PEMBELI SEDANG TAWAR MENAWAR BARANG DI PASAR LASEM
PEMBELI       : “ IWAKEM PIRO MBAK?”
PENJUAL      : “ SEKILO KALIH WELAS BU, MONGGO NJENENGAN MILIH”.
PEMBELI       : “ KOK 12.000 MEN LEH? GAK ENTUK KURANG IKI?”
PENJUAL       : “DERENG PARENG KOK BU,
PEMBELI       : “ PIYELEH MBAK, MOSOK GAK ISO KURANG?”
PENJUAL       : “ LHO BU, IWAKE SEGER-SEGER KOK BU.


Ø  Percakapan 3
KONTEKS : PENJUAL DAN PEMBELI SEDANG TAWAR MENAWAR BARANG DI PASAR LASEM
PENJUAL       : “ MONGGO BU, RAMBUTANE APIK-APIK…”
PEMBELI       : “ PIRONAN RAMBUTANEM IKU?”
PENJUAL       : “ WISLEH BU 5000 AE…”
PEMBELI      : “ EH…KOK MURAH TEMEN  LEH, LEGI TENAN PO GAK IKU?”
PENJUAL       : “ LEGI BU, JAJAL LAH. WISLEH BU, GAK NGAPUSI”


2.      Data Sekunder :
          Berdasarkan hasil wawancara dan juga informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat, faktor penentu munculnya dialek leh dan nem pada setiap peristiwa tutur di kabupaten Rembang disebabkan karena adat dan kebiasaan dari masyarakat sebelumnya. Penggunaan dialek tersebut pada dasarnya merupakan ciri khas yang sulit dihilangkan oleh masyarakat Rembang khususnya Lasem. Dialek tersebut muncul dengan sendirinya ketika sedang berkomunikasi tanpa disadari.
           Secara spontan dilek-dialek tersebut muncul tanpa disadari penuturnya. Kemungkinan, dialek-dialek itu muncul larena memberikan rasa nyaman saat kita berbicara. Menurut salah satu sumber, mengatakan bahwa penggunaan dialek itu merupakan ciri khas yang sulit untuk dihilangkan. Dialek itu mampu memberikan rasa nyaman ketika seorang penutur sedang berkomunikasi. Selain itu, data sekunder juga memberi pemantapan atau mempertegas suatu tuturan dalam berlomunikasi.
          Tak hanya sebatas itu saja, rata-rata masyarakat desa di Kabupaten Rembang masih kental dengan dialek leh dan nem  ini. Sulit sekali untuk dihilanglan karena mereka masih memegang anggapan primitif bahwa dialek tersebut baik dan tidak terkesan kasar. Padahal jika kita tengah berada di lain daerah, mungkin orang yang kita ajak bicara akan tertawa dengan dialek yang kita gunakan, atau bahkan kadang tidak mengerti apa maksud ucapan kita. Dialek anatara tempat yang satu dengan yang lain itu tidaklah sama. Jadi pada intinya dialek di tiap-tiap daerah itu akan lebih baik jika digunakan secara lokal saja agar lebih mengefektifkan suatu komunikasi.
          Begitupun dengan masyarakat Lasem. Mayoritas masih erat dengan dialek-dialek tersebut. Kalaupun ada yang sudah bisa menghilangkannya itu hanya sebatas karena rasa gengsi atau tuntutan profesi semata. Karena pada dasarnya, sejauh apapun kita meninggalkan tempat asal kita, maka ketika kembali lagi adat dan kebiasaan itu akan melekat kembali dalam diri kita. Karena yang namanya adat, dan kebiasaan itu tidak bisa hilang dari diri kita. Begitupun sebaliknya, jika ada pendatang masuk ke Rembang, tentu tuturannya berbeda. Masih kental dengan tempat asalnya.





C.    Teknik Pengumpulan Data
            Data dikumpulkan dengan metode pengamatan antar penjual pembeli di Pasar Lasem dan wawancara terhadap masyarakat setempat serta dokumentasi berupa foto.

D.    Analisis Data
            Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis sosiolinguistik dengan teori Dell Hymes 91972 yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

            Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis sosiolinguistik dengan teori Dell Hymes 1972 yang merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING yaitu Setting (latar), Partisipant (peserta tutur), Ends (tujuan tutur), Act sequence (topik , isi tuturan), Key (nada tutur), Norms (norma tutur) dan Genre (jenis tutur).
            Pada percakapan 1, 2, dan 3 mempunyai latar, peserta tutur, tujuan yang sama yaitu berada di pasar Lasem dalam kegiatan jual beli untuk melakukan transaksi jual beli dan memperoleh suatu kesepakatan. Jika kita melihat dari aspek Act sequence, nada tuturan dan norma maka akan terlihat perbedaan.
            Pada percakapan 1 ada seorang ibu yang membeli kelapa pada sebuah penjual. Dalam percakapannya mereka menggunakan bahasa Jawa. Pada percakapan tersebut terlihat adanya dialek yang digunakan oleh penjual dan pembeli yaitu –leh. “Larang temen pak?sewunan lakwisleh”. Kata lakwisleh merupakan dialek orang Rembang. Kata lakwisleh berasal dari kata lakwis, kemudian mendapat imbuhan –leh yang merupakan  ciri khas dialek orang Rembang.
            Imbuhan –leh dalam percakapan ini juga mempunyai fungsi untuk memperhalus tuturan. Perhatikan kata “sewunan lakwisleh....., mpunleh buk... apabila kata tersebut tidak memperoleh imbuhan –leh maka akan menjadi “sewunan lakwis..., mpun buk....” jika dirasakan kata-kata tersebut akan terkesan kurang halus.
            Selain itu imbuhan –leh juga berfungsi untuk membujuk atau merayu mitra tutur seperti pada percakapan alah pak, di dunke menehleh regane”. Kata tersebut berfungsi merayu penjual agar harganya bisa diturunkan lagi. Apabila kata tersebut tidak di tambahi –leh “ alah pak, di dunke meneh regane” bisa jadi penjual akan tersinggung karena kata-kata yang digunakan terkesan kurang sopan.
            Sedangkan pada percakapan 2 ada seorang ibu yang membeli ikan pada sebuah penjual. Dalam percakapannya mereka menggunakan bahasa Jawa, tetpai bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko. Hal ini terjadi karena ibu tersebut menganggap penjualnya lebih muda dari dia. Pada percakapan tersebut terlihat adanya dialek yang digunakan oleh penjual dan pembeli yaitu –em. “iwakem piro mbak?”. Kata iwakem merupakan dialek orang Rembang. Kata iwakem berasal dari kata iwak, kemudian mendapat imbuhan –em yang merupakan  ciri khas dialek orang Rembang. Imbuhan –em menunjukkan atau menerangkan kepemilikkan, misalnya : Hpnem, tasem, motorem, sandalem, dll.
            Kata yang mendapat imbuhan –em terkadang salah diartikan oleh mitra tutur yang bukan berasal dari Rembang, contohnya : “SMPnem ndi?” . Jika kita bertanya kepada orang yang bukan orang Rembang, maka ada yang mereka tangkap bahwa “letak SMP 6 dimana?”. Padahal maksud pertanyaan tersebut adalah SMPmu mana?
            Akan tetapi jika dirasakan, imbuhan –em akan menjadikan kata kurang halus atau menjadi agak kasar. Mekipun begitu imbuhan ini tetap saja dilekatkan pada setiap percakapan.
                           

BAB V
PENUTUP

·         Simpulan
Pengamatan Terhadap Fenomena Kebahasaan Pada Dialek leh dan nem di Kabupaten Rembang menyimpulkan bahwa dialek yang akrab digunakan masyarakat Rembang itu muncul dengan sendirinya yang terkadang tanpa disadari penuturnya. Kemungkinan, dialek-dialek itu muncul karena memberikan rasa nyaman saat berbicara, atau bisa juga disebabkan karena adat dan kebiasaan dari masyarakat sebelumnya. Penggunaan dialek tersebut pada dasarnya merupakan ciri khas yang sulit dihilangkan oleh masyarakat Rembang. Rata-rata masyarakat desa di Kabupaten Rembang masih kental dengan dialek leh dan nem ini. Sulit sekali untuk dihilanglan karena mereka masih memegang anggapan primitif bahwa dialek tersebut baik dan tidak terkesan kasar. Namun hal ini merupakan kenyamanan dan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Rembang. Karena mampu menjunjung nilai budaya kota Rembang.

·         Saran
Dalam penelitian ini mmapu menemukan adanya penggunaan dialek leh dan nem yang masih melekat erat dalam diri mayoritas masyarakat Rembang. Adat istiadat serta kebiasaan turun temurun dari masyarakat yang sebelumnya merupakan salah satu faktor pendorong yang utama. Namun sejauh mana dan seperti apa wujud eratnya dialek tersebut dengan diri masyarkat Rembang, belum diungkap dalam penelitian ini. Penelitian seperti itu sangat bermakna dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Mengingat sekarang ini, kekhawatiran adanya pergeseran dan kepunahan bahasa-bahasa daerah telah menjadi wacana dalam berbagai kalangan pemerhati bahasa.






DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Fathurrokhman. Fenomena Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual: Paradigma Sosiolinguistik. (diunduh 4-06-2009)

Santoso, Budi.Alih Kode yang Terjadi pada Masyrakat Tutur Bilingual dalam Wacana Jual Beli Peralatan Camping.(diunduh 16 Juli 2009)



2 komentar: